Minggu, 27 Desember 2009

Perkembangan inflasi di thiland th 2000-2009

Perkembangan inflasi di thailand
Tahun 2000
Thailand Dibayang-bayangi Krisis Kedua :
SETELAH Thailand sukses melampaui krisis moneter yang menderanya pada
bulan Juli 1997, kini, empat tahun sesudahnya, krisis kedua mulai
membayang. Mungkin dampak yang ditimbulkan oleh krisis kedua itu tidak
sedahsyat krisis pertama, tetapi walaupun demikian, analis tetap
khawatir jika pemerintah tidak cepat mengantisipasi dan mencari jalan
keluar yang tepat, maka rakyat Thailand akan kembali menanggung
akibatnya.

Kekhawatiran itu muncul karena banyak analis yang menganggap bahwa
Perdana Menteri (PM) Thaksin Shinawatra, dalam tiga bulan ini, tidak
bersungguh-sungguh dalam menanggapi gejala akan munculnya krisis
kedua. Mengingat, selama ini, PM Thaksin Shinawatra harus menghadapi
kemungkinan akan dipecat sebagai PM dan dilarang berkiprah di panggung
politik selama lima tahun, jika ia dinyatakan bersalah oleh Mahkamah
Konstitusi (Constitusional Court). Sebab itu, seluruh perhatian PM
Thaksin Shinawatra lebih dipusatkan kepada bagaimana ia bisa lolos
dari hukuman yang akan dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi.


Tahun 2001-2005

Thailand adalah negara yang segolongan dalam perekonomian sama-sama negara berkembang, mantan macan Asia pada tahun 1990an, pernah mengalami krisis mata uang, sama-sama berada di jalur demokrasi walau dengan gaya berbeda, dan kini sama-sama ingin menjadi negara maju berikutnya setelah tertinggal Thailand bersama Indonesia juga sama-sama menempati posisi terburuk kedua dalam peringkat korupsi di Asia.
PDB/kapita 4 Negara ASEAN (US Dolar)
Tahun Singapura Malaysia Thailand Indonesia
2001 20,897 3,746 1,863 775
2002 21,251 3,974 2,027 932
2003 21,974 4,254 2,263 1,092
2004 25,161 4,753 2,539 1,150
2005 26,997 5,159 2,749 1,263
Sumber: UN Statistics, 2007
Di tengah upaya memacu pertumbuhan ekonominya, Thailand menghadapi perubahan politik dalam negeri. Dua hal ini, ekonomi dan politik, saling berkaitan dan memberi pengaruh yang luas pada tingkat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Makalah ini membahas perkembangan ekonomi Thailand, dengan fokus pada upaya pemerintah Thailand mengatasi krisis moneter tahun 1997, outlook perkembangan ekonomi setelah pergantian pemerintahan, hubungan ekonomi luar negeri dan program-program menarik yang dapat menjadi pembelajaran bagi pengambil kebijakan bidang ekonomi di Indonesia.
THAILAND SETELAH KRISIS 1997

Dalam upaya mengakhiri krisis mata uang tahun 1997, Thailand sejak awal telah berupaya meningkatkan ekspornya. Pertumbuhan ekspor tahun 2002 Thailand tercatat sudah mengalami kenaikan sebesar 2,8%. Ekspor mengkontribusi sekitar 60% dari total nilai PDB Thailand, sehingga pertumbuhan ekonomi Thailand turut terangkat cepat. Pada tahun itu juga Thailand telah membayar lunas utangnya sebesar 17 miliar USD ke IMF. Pertimbangannya, Thailand tidak ingin terbebani bunga pinjaman dari IMF yang sekitar 2,9% per tahun. Alasan lain adalah bahwa perekonomian Thailand semakin tumbuh mantap dan investasi asing sudah berdatangan, sehingga tidak memerlukan bantuan dana IMF.
Untuk memacu pertumbuhan ekonomi, Thailand mengalokasikan pengeluaran yang lebih besar daripada penerimaannya. Anggaran defisit pemerintahan Thailand pada tahun 2002 sekitar 3,4%, sengaja ditingkatkan dari 0,8% pada tahun 2001. Kebijakan ekspansif sektor fiskal itu memungkinkan permintaan domestik pada perekonomian Thailand meningkat, karena porsi belanja modal lebih tinggi daripada belanja untuk keperluan lain, dan belanja modal itu lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan prasarana yang menyerap lapangan kerja banyak sehingga mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan kesejahteraan penduduk termasuk petani yang produknya mengalami peningkatan permintaan.
Hanya empat tahun setelah krisis, Thailand telah berada di urutan ke-5 dari 10 besar negara di Asia Pasifik yang menerima aliran investasi asing langsung terbanyak, setelah Cina, Hongkong, Singapura, dan Taiwan. Saat itu, Thailand menerima aliran FDI masuk sebesar 3,8 miliar USD, cukup signifikan untuk mengembalikan perekonomian Thailand seperti sebelum krisis. Namun laju ekonomi Thailand kemudian melambat. Seperti halnya Indonesia, pertumbuhan ekonomi Thailand sangat sensitif terhadap gejolak harga minyak. Harga BBM meningkatkan inflasi dan suku bunga. Tahun 2006 ekonomi Thailand mencatat pertumbuhan sekitar 4,2% tidak jauh berbeda dengan 4,5% pada tahun 2005. Pertumbuhan ini adalah yang paling lambat dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
DRAMA POLITIK THAILAND

Thailand adalah negara yang sudah terbiasa dengan perubahan pemerintahan. Kudeta pertama di Thailand dilakukan oleh perwira-perwira Thai pada tahun 1932, yang mengakhiri sistem monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Sejak itu percobaan kudeta terjadi sebanyak 17 kali sampai tahun 1991. Pada tahun itu Jenderal Sunthon Kongsomphong menggulingkan PM Chatchai Choonhavan karena krisis politik sebelumnya telah menyebabkan ketidakstabilan jalannya pemerintahan. Sejak itu militer berusaha menjaga jarak dengan hiruk pikuk sektor politik. Namun kudeta tahun 1991 itu ternyata hanya tercatat sebagai kudeta terakhir pada abad ke-20.
Thailand mengalami keonaran politik cukup ramai. Ketidakpuasan publik terhadap kinerja PM Thaksin Shinawatra disulut oleh kebijakan penjualan 49% saham Shin Corp kepada Temasek Holdings dari Singapura. Perusahaan tersebut dijual hanya dua hari setelah Pemerintah mengubah peraturan rasio kepemilikan saham perusahaan asing dari 25% menjadi 49%. Pelaksanaan tender itu oleh masyarakat dinilai bernuansa KKN. Sejak itu rakyat Thailand berulang kali mengecam PM Thaksin Shinawatra. Gelombang aksi unjuk rasa besar menyebabkan pengunduran diri PM Thaksin pada bulan April 2005. Namun, tidak lama kemudian Thaksin Shinawatra menyatakan kembali menjabat sebagai PM. Sejak kembalinya PM Thaksin Shinawatra, situasi politik di Thailand mengalami ketidakpastian terus menerus. Berbagai persoalan mulai dari investasi yang tersendat hingga kasus korupsi dan narkoba menjadi penyebab masalah pokok ekonomi dan politik di Thailand.
Dewan Reformasi Demokrasi mengumumkan pengambil-alihan kekuasaan dari tangan PM Thaksin Shinawatra. Sejumlah alasan bagi dilancarkannya kudeta tersebut a.l. meluasnya perpecahan di dalam negeri dan masalah dalam pemerintah yang dipicu oleh ketidakpercayaan masyarakat, tuduhan korupsi, dan penyelewengan kekuasaan. Militer kemudian menetapkan keadaan darurat perang, membekukan konstitusi 1997, membubarkan parlemen dan Mahkamah Agung. Kudeta ini mengagetkan banyak pengamat politik asing.
Tahun 2006

Dalam waktu kurang dari tiga bulan nilai Baht mengalami penguatan sebesar 6,4%. Penguatan ini lebih cepat dari penguatan mata uang negara lain. Penguatan Baht yang terlalu cepat ini menimbulkan kekhawatiran yang cukup mendalam. Baht yang terlalu kuat akan mengurangi daya saing produk-produk Thailand di pasar dunia. Jika hal ini dibiarkan terus, maka Baht akan melampaui nilai fundamentalnya. Koreksinya dikhawatirkan akan dapat menimbulkan ketidakstabilan di pasar mata uang.
Bank of Thailand (BoT) kemudian membuat sejumlah kebijakan. Pada Desember 2006, BoT mengharuskan perbankan memberlakukan ketentuan bahwa 30% dari deposito mata uang luar negeri akan bebas bunga selama satu tahun. Kebijakan itu untuk mencegah investor berspekulasi terhadap Baht. Para investor yang ingin menarik investasi dalam waktu kurang dari satu tahun diharuskan membayar penalti sebesar 33% dari jumlah yang diinvestasikan. Peraturan yang berlaku juga mengharuskan investasi dilindungnilaikan terhadap perubahan mata uang selama 12 bulan dan aliran investasi jangka pendek harus dihedge sepanjang umur investasi tersebut. Kebijakan pemerintah lain adalah investor asing harus mengurangi kepemilikan sahamnya menjadi maksimal 50% (sebelumnya tidak dibatasi) di perusahaan domestik dalam tempo paling lambat dua tahun. Saat ini terdapat 14.000 perusahaan asing yang telah menanamkan modalnya di Thailand. Jika mereka harus mendivestasi sahamnya, investor domestik belum tentu dapat menyerap saham yang akan dilepas. Kemungkinan ini menyebabkan banyak kalangan meragukan stabilitas ekonomi Thailand. Bisa jadi Thailand kembali memicu krisis finansial di Asia.
Kebijakan itu juga tidak memerhatikan dampak negatif terhadap pasar modal. Akibatnya, kebijakan kapital kontrol yang diambil tidak hanya membuat Baht berhenti menguat, tetapi juga membuat bursa saham di Thailand terkoreksi dengan tajam. Reaksi para pemodal adalah menarik dananya sehingga Baht melemah, seperti yang diharapkan pemerintah. Pelemahan itu diikuti merosotnya indeks SET yang mengalami koreksi 15%, level terburuk selama 16 tahun terakhir. Efek domino terasa di negara-negara Asia lain. Pengendalian modal itu telah memindahkan dana dari pasar modal senilai 23 miliar USD ke luar negeri. Menghadapi kenyataan itu, Menteri Keuangan Thailand kemudian mengeluarkan pernyataan yang mengecualikan keperluan untuk transaksi saham dari kebijakan pengendalian modal tersebut. Pembatalan kebijakan capital control itu telah dapat menenangkan kembali investor di pasar modal. Bursa saham Thailand pun kembali mengalami penguatan. Kebijakan BoT tidak sepenuhnya gagal karena tujuan untuk mencegah penguatan Baht yang berlebihan dapat dinilai cukup berhasil. Bagaimanapun, BoT sudah mengirim pesan dengan tegas ke pasar bahwa ia tidak menginginkan Baht yang terlalu kuat.
Saat ini gejolak Baht dan bursa saham Thailand sudah tenang. Kekhawatiran terjadinya krisis moneter jilid 2 tidak terbukti. Bursa regional kembali bangkit setelah Filipina, Malaysia dan Indonesia menegaskan tidak akan mengeluarkan kebijakan serupa. Indeks harga saham di Asia kemudian merangkak naik kembali. Walaupun sempat menimbulkan kepanikan sesaat di negara-negara tetangga, namun keterpurukan pasar saham di Thailand sebetulnya memberi berkah bagi mereka. Tahun 2006 yang lalu tingkat inflasi adalah 3.5%. Untuk mengendalikan inflasi, BoT mungkin dapat menaikkan tingkat suku bunga beberapa kali dalam setahun sehingga BoT rate mencapai tingkat 4-5.0% . Dengan mengendalikan faktor-faktor utama penyebab kenaikan harga-harga (harga BBM, gaji dan tingkat suku bunga) yang semuanya memberi pengaruh pada biaya produksi, maka inflasi akan terjaga tetap rendah. Konsumsi swasta diharapkan akan meningkat dengan menurunnya tingkat pajak pendapatan pribadi yang diterapkan sejak Agustus 2006.


Tahun 2007

Tahun 2007 ini pertumbuhan ekonomi Thailand diperkirakan akan berada pada kisaran 5–6%. Kinerja ini tergantung pada produktivitas ekonomi, daya saing komoditas ekspor, dan jadi tidaknya pembangunan beberapa megaproyek, dan ada tidaknya kemajuan dalam reformasi struktural. APBN ditetapkan sebesar 1.48 triliun Baht. Utang negara dibatasi tidak lebih dari 50% PDB, kebijakan ini diumumkan secara luas kepada publik sehingga masyarakat dapat ikut mengontrolnya. Pembayaran utang sebanyak 16% dari pengeluaran APBN, sehingga tersedia cukup banyak anggaran untuk membangun negara.
Penghapusan subsidi BBM pada tahun 2005 dan program-program penghematan energi akan mengurangi besarnya impor BBM tahun ini. Pertumbuhan ekspor diramalkan sebesar 15.3%, hampir sama dengan tahun 2006. Elektronika, komponen komputer, mobil, dan produk pertanian merupakan komoditas ekspor utama Thailand. Ekspor jasa, utamanya pariwisata, dipastikan akan terus menguat sejak bencana tsunami tahun 2004. Defisit neraca perdagangan akan sekitar $ 4.6 billion–4.9 billion atau 2.5% dari PDB. Defisit ini tidak akan menjadi masalah jika ekonomi berada di jalur pertumbuhan tinggi, dengan ekspor yang terus mendatangkan Dolar ke dalam negeri.
Strategi peningkatan ekspor dilakukan secara bersamaan dengan strategi peningkatan permintaan domestik. Permintaan domestik didorong dengan a.l. program pembangunan prasarana pedesaan yang menunjukkan multiplier effect yang tinggi. Dana untuk pembangunan lebih dari 30,000 desa telah ditingkatkan dari 9.4 triliun Baht (2005) menjadi 19 triliun Baht (2006). Tampak bahwa kebijakan alokasi anggaran pemerintah tidak menganut sistem perubahan yang pro rata.
Karena modal swasta domestik yang diperlukan untuk mengurangi tekanan pada keuangan pemerintah terbatas, maka keikutsertaan swasta asing dalam pembangunan didorong dengan public-private partnership. Pengutamaan pembiayaan untuk infrastruktur fisik menuntut peningkatan kapasitas SDM. Studi Bank Dunia mengenai iklim investasi Thailand menemukan bahwa keterbatasan SDM adalah cukup signifikan di Thailand. Pengeluaran untuk tenaga kerja menyedot sekitar 15% dari rata-rata biaya produksi. Jika kemampuan SDM dapat ditingkatkan maka biaya produksi dapat ditekan.
Agar investasi asing meningkat, Pemerintah Thailand menawarkan insentif pajak untuk reinvestasi selama 3 tahun, dan memberikan insentif untuk perusahaan eksisting jika melakukan proses peningkatan nilai tambah pada produk mentahnya, seperti melakukan pengolahan hasil pertanian.
Thailand menjadikan program privatisasi sebagai salah satu bentuk reformasi strukturalnya. Privatisasi BUMN dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan menambah penerimaan pemerintah, sekaligus untuk mengurangi pengeluaran pemerintah. Master plan privatisasi telah membuat garis besar dan komisi provatisasi juga telah bekerja untuk mengatur, menerapkan, dan mengaudit proses penjualan BUMN. BUMN yang akan diprivatisasi antara lain maskapai penerbangan dan perusahaan minyak. Meletakkan program privatisasi kembali pada jalurnya akan mendorong pertumbuhan pasar modal, membantu pembiayaan investasi infrastruktur, dan meningkatkan kepercayaan investor. PMA diharapkan akan datang dalam jumlah yang lebih banyak, dan ini berarti menambah lapangan kerja.
Namun program privatisasi terhambat oleh protes dari serikat buruh yang khawatir akan terjadi gelombang PHK. Lembaga konsumen juga cenderung anti privatisasi karena harga produk-produk dapat menjadi lebih mahal setelah privatisasi walau biasanya menurun terlebih dahulu. Privatisasi juga terganjal oleh belum adanya peraturan atau keputusan penting, seperti berapa penerimaan negara yang wajar dari penjualan suatu BUMN. Rakyat Thailand tentu tidak ingin BUMN yang ada dijual murah kepada pembeli yang biasanya dari luar negeri.
Selama ini tingkat inflasi Thailand dapat dipertahankan menjadi rata-rata satu dijit angka. Tekanan inflasi tahun ini diduga akan berkurang sejalan dengan kebijakan moneter ketat yang akan memperlambat hasrat belanja konsumen, yang mungkin juga terpengaruh oleh ketidak-pastian dalam sektor politik. Kebijakan perdagangan pemerintah Thailand yang utama adalah secara bertahap mengendalikan kenaikan harga 26 barang pokok dan 150 barang dan bahan bangunan yang sebelumnya dikendalikan secara ketat, untuk mengimbangi peningkatan biaya produksi akibat kenaikan harga BBM. Dengan cara demikian, masyarakat tidak mengalami kesulitan memperoleh bahan-bahan pokok dan pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengkompensasi kenaikan harga-harga akibat pengurangan subsidi BBM, misalnya.
Keterlambatan dalam realisasi APBN dan melunaknya hasrat belanja konsumen merupakan faktor penurun inflasi pada awal-awal tahun anggaran. Sedangkan kenaikan pendapatan petani merupakan faktor sebaliknya. Jika Departemen Perdagangan dapat mengendalikan kenaikan harga barang-barang konsumsi pada bulan-bulan berikutnya, maka tingkat inflasi akan sekitar 3-4% di 2007. Ekspor Thailand cukup prospektif sebagai mesin pertumbuhan ekonomi jika harga komoditas di pasar dunia tetap baik dan slowdown dalam perekonomian AS tidak berpengaruh banyak pada ekspor Thailand. Target ekspor Pemerintah Thailand adalah 14%. Jika ekspor tercapai seperti yang ditargetkan maka defisit neracara perdagangan pada tahun 2007 akan sekitar 2% dari PDB. Pertumbuhan PDB tergantung juga pada apakah musim kemarau panjang akan muncul lagi. Namun Departemen Pertanian telah melakukan banyak upaya untuk memperbaiki sistem irigasi, yang diharapkan akan mampu mengatasi kekeringan di pedesaan. Sektor industri diharapkan tumbuh baik pada tingkat 7%, didukung a.l. oleh tingginya pertumbuhan industri permesinan, kendaraan bermotor, dan tekstil.
RESIKO KEGAGALAN
Resiko pertumbuhan ekonomi Thailand datang dari berhasil tidaknya pelaksanaan investasi megaproyek. Walaupun perkiraan pertumbuhan ekonomi Thailand cukup cerah tahun 2007 ini dengan kondisi fiskal yang sehat, pertumbuhan ekspor baik, dan cadangan devisa cukup banyak, namun adanya ketidak-pastian di sektor politik akan mengikis kepercayaan konsumen dan investor dalam dan luar negeri. Kemungkinan ketegangan sosial di Thailand selatan akan memberikan resiko tambahan bagi perkembangan ekonomi Thailand. Mungkinkan Thailand mengikuti jejak Indonesia dalam memecahkan masalah serupa?
Harga minyak yang meningkat dapat menyebabkan masalah baru, sebab ekonomi Thailand sangat sensitif terhadap harga BBM dunia. Penghapusan subsidi BBM pada tahun 2005 adalah langkah untuk mengurangi konsumsi BBM impor. Langkah lain adalah mempromosikan penggunaan bahan bakar nabati (BBN), seperti bio-diesel dan gas-alam untuk kendaraan. Upaya pemerintah dalam hal ini adalah a.l. mengurangi bea cukai atas produksi BBN dan mengkonversi kendaraan dinas dan taksi sehingga dapat menggunakan BBN.
Ketidakstabilan sektor politik dapat menyebabkan pelaksanaan pembangunan investasi infrastruktur juga mundur dari jadual yang ditetapkan. Ditambah dengan kemungkinan harga minyak dunia yang tinggi, maka pertumbuhan jangka pendek mungkin akan tidak sebesar yang diharapkan. Jika ini terjadi maka akan ada keterlambatan dalam pemanfaatan dana 42 miliar USD untuk infrastruktur megaproyek. Sifat pemerintahan sementara saat ini juga dikhawatirkan menyulitkan pengambilan keputusan strategis yang mempengaruhi realisasi APBN, implementasi kebijakan dan program, dan penundaan proyek infrastruktur lain, seperti 3 jalur subway di Bangkok yang telah menyebabkan dana sekitar 4.3 miliar USD urung mengalir ke perekonomian Thailand pada waktunya. Investasi megaproyek berpotensi menyumbang 0.5–0.7% pertumbuhan PDB setiap tahun karena ada faktor multiplier effect. Jika investasi ini batal, maka perekonomian akan tumbuh sedang-sedang saja. Kalaupun pemerintahan baru dapat dibentuk, pemerintah diduga masih harus memusatkan perhatian pada pembenahan kembali sendi-sendi pokok kenegaraan seperti amandemen konstitusi dan bukan pada berbagai masalah ekonomi.
KEBIJAKAN DAN PROGRAM TERTENTU

Kemiripan ekonomi Thailand dan Indonesia memungkinkan kebijakan yang sama dapat diterapkan di negara lain dengan modifikasi seperlunya. Beberapa kebijakan dan progran pembangunan ekonomi Thailand yang menarik untuk diamati adalah sbb.
a. FTA dengan Jepang
Untuk meningkatkan ekspor, Thailand menjalin hubungan dagang khusus dengan Jepang melalui kesepakatan perdagangan bebas (Free Trade Agreement). Segera setelah FTA ditetapkan, sedikitnya 20 perusahaan Jepang, yang mayoritas bergerak di sektor otomotif, merencanakan menanamkan modal baru di Thailand senilai 1,15 miliar USD. Menurut Departemen Promosi Industri Thailand, total modal yang ditanamkan perusahaan-perusahaan tersebut diperkirakan mencapai 40 miliar Baht. Perusahaan asal Jepang merupakan penanam modal terbesar di Thailand, dengan kontribusi mencapai 43% dari total modal asing yang ditanam di negara itu. Saat ini terdapat sekitar 1.300 perusahaan Jepang yang beroperasi di Thailand yang mempekerjakan sedikitnya 50.000 karyawan lokal. Thailand telah menjadi home base bagi banyak perusahaan Jepang untuk melakukan ekspor ke negara-negara lain di samping membidik konsumen lokal. Sebagai contoh, Toyota Motor Thailand Ltd. pada bulan Maret 2007 berhasil menjual 22.813 unit dari total penjualan mobil sebanyak 56.021 unit. Isuzu berada di peringkat kedua dengan angka penjualan 13.922 unit. Produksi mobil ini melampaui produksi mobil di Indonesia. Lihat Tabel 2.
Tabel 2. Penjualan Mobil baru Thailand dan Indonesia (Unit)
T a h u n Thailand Indonesia
Okt-2005 57.399 35.112
Okt-2006 51.390 20.694
Sumber : Pusat Data Bisnis Indonesia, diolah
b. Insentf Investasi
BKPM Thailand telah menawarkan insentif kepada seluruh perusahaan yang ada di Thailand untuk penanaman modal baru. Perusahaan yang berminat mengajukan rencana investasi dan produksi kepada Badan itu. BKPM antara lain telah menyetujui rencana pengembangan mobil hemat bahan bakar. Para pengusaha harus melengkapi rencana pembangunan fasilitas produksi baru termasuk rencana memproduksi mesin dan komponen untuk mendapatkan insentif. Pengusaha juga harus membuat paling sedikit 100.000 unit mobil dalam lima tahun operasi, dan mobil yang dihasilkan harus bisa dikendarai sejauh lebih dari 20 kilometer dengan satu liter bensin saja. BKPM sebelumnya sudah mengurangi pajak impor untuk meningkatkan daya tarik investasi untuk membangun pabrik otomotif di Thailand.
c. Dukungan untuk UKM
Pemerintah Thailand mendorong UKM dengan berbagai cara yang efektif. Salah satunya adalah dengan melakukan pameran dagang di berbagai negara. Sejumlah 46 perusahaan meramaikan Thailand Exhibition 2007 pada bulan Maret 2007 di Jakarta. Pameran ini diselenggarakan oleh Office of Commercial Affairs Kedubes Thailand di Jakarta mewakili Department of Export Promotion, Departemen Perdagangan Thailand. Produk yang ditampilkan pada pameran meliputi makanan dan minuman, garmen dan tekstil, aksesori, produk kesehatan dan kecantikan serta pariwisata. Mereka juga menampilkan berbagai varietas buah segar, seperti kelengkeng, rambutan, mangga hijau, mangga kuning, buah pum, apel merah mawar dan tamarin manis. Pameran dagang ini merupakan bagian penting dari program One Tampon One Product.
Pemerintah Thailand juga mendirikan BUMN nirlaba Allied Retail Trade Co. untuk melakukan pembelian barang dari pabrik kemudian menyalurkannya ke jaringan toko-toko kecil dan warung tradisional lainnya. Perbankan Thailand, tidak hanya bank-bank BUMN, mendorong pergerakan sektor riel dengan memberi kemudahan kredit bagi pengusaha toko tradisional yang memodernisasi toko masing-masing, yang dengan demikian mempunyai prospek baik untuk mengembalikan poinjaman. Toko-toko tradisional juga diberikan keringanan pajak apabila masuk ke dalam jaringan suplai barang BUMN nirlaba tersebut.
d. Penataan Zona Perdagangan Eceran
Seperti halnya Indonesia, di Thailand jumlah peritel dalam berbagai jenis berkembang pesat sejak ekonomi pulih dari krisis moneter. Sebagian besar peritel di Thailand adalah toko tradisional dan sebagian kecil (dari segi jumlah) adalah convenient store. Supermarket pernah hampir mencapai 500 toko, tetapi kemudian berkurang menjadi 438 toko (2005), sedang hipermarket tumbuh konstan mencapai 29 unit (2005). Lihat Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Peritel di Thailand (unit)
Keterangan 2003 2004 2005
Toko tradisional 273.314 278.278 282.705
Convenience store* 3.861 3.988 5.026
Supermarket 499 474 438
Hipermarket 107 120 135
Pusat perkulakan 23 29 29
Sumber : AC Nielsen, 2006
Pemerintah Thailand sangat serius menangani masalah ritel dan memberlakukan undang-undang ritel Royal Decree for Retail Act yang berisi aturan zona, jam buka, harga barang, dan jenis ritel. Dengan adanya UU tersebut maka Pemkot Bangkok Metropolitan menetapkan zona-zona perdagangan eceran. Misalnya zona barat daya, zona tenggara, dan zona timur laut ditetapkan, kemudian dengan menarik garis vertikal dan horizontal ditentukanlah zona satu, dua, tiga, empat dan lima. Setiap zona diperuntukkan bagi ritel kelompok tertentu agar tidak terjadi ketimpangan persaingan usaha, yang berakibat sekelompok pedagang ritel menurun omzetnya karena keberadaan ritel jenis lain didekatnya, seperti yang terjadi di Jakarta. Persisnya, UU Ritel itu mengatur penerapan zona atau tempat usaha satu jenis ritel, seperti hipermarket berada pada zona empat atau lima, sedangkan zona satu hingga tiga hanya diperuntukkan untuk warung tradisional, grosir dan supermarket. Aturan zona juga melarang pusat perbelanjaan atau toko berskala besar pada daerah padat arus lalu lintas.
Kebijakan kapital kontrol yang diterapkan oleh bank sentral Thailand sempat mengguncangkan kawasan ini. Walaupun guncangan yang ditimbulkan sudah mereda, masih banyak kalangan yang meragukan stabilitas ekonomi Thailand. Apakah Thailand akan kembali memicu krisis finansial di kawasan ini?

Rasanya hampir semua ekonom di negeri ini mempunyai pandangan yang sama tentang prospek ekonomi kita tahun 2007, yaitu ekonomi Indonesia pada tahun 2007 diperkirakan akan lebih cerah dibandingkan dengan pada tahun 2006.

Menurut perhitungan Danareksa Research Institute, ekonomi Indonesia akan tumbuh dengan laju pertumbuhan sebesar 6,2 persen di tahun 2007.

Namun, peristiwa yang terjadi di Thailand baru-baru ini sempat membuat sebagian kalangan khawatir. Hal ini patut dimaklumi mengingat krisis finansial di tahun 1997 dimulai dari Thailand, dan akhirnya Indonesia (yang dikatakan memilki fundamental ekonomi yang baik) ikut terseret juga dalam krisis finansial tersebut.

Apakah kebijakan kapital kontrol yang diterapkan bank sentral Thailand menunjukkan perekonomian negara tersebut sedang menuju suatu krisis yang baru?

Mata uang dunia

Bank sentral Amerika Serikat (The Fed) tampaknya tidak akan menaikkan suku bunga lagi dalam waktu dekat. Hal ini disebabkan laju inflasi di AS yang sudah cukup terkendali.

Laju inflasi tahunan turun dari sekitar 3,82 persen pada bulan Agustus ke 1,31 persen pada bulan Oktober. Pada bulan November, laju inflasi tahunan mencapai 1,97 persen, masih pada level yang dapat diterima.

Dengan inflasi yang semakin terkendali ini, alasan bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga menjadi hampir tidak ada. Para pelaku pasar bahkan ada yang berspekulasi bahwa The Fed akan segera menurunkan suku bunga pada triwulan kedua tahun 2007.

Sementara itu, bank sentral Eropa baru saja menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin ke level 3,5 persen karena inflasi di sana yang masih dianggap relatif tinggi. Ekspektasi akan terjadinya penurunan suku bunga di AS di tengah semakin tingginya suku bunga di Eropa menyebabkan dollar melemah terhadap euro dan sebagian besar mata uang dunia.

Mata uang Thailand (baht) turut pula terkena dampak pelemahan dollar tersebut. Nilai tukar baht terhadap dollar mengalami penguatan dari 37,6 per dollar di awal bulan Oktober, menjadi 35,1 per dollar pada tanggal 18 Desember 2006.

Jadi, dalam waktu kurang dari tiga bulan nilai baht mengalami penguatan sebesar 6,4 persen (14 persen jika dibanding awal tahun). Penguatan ini dianggap terlalu cepat dibandingkan dengan penguatan yang dialami oleh mata uang negara lain. Rupiah, misalnya, dalam periode yang sama hanya mengalami penguatan sebesar 1,7 persen terhadap dollar. Penguatan baht yang terlalu cepat ini menimbulkan kekhawatiran yang cukup mendalam. Baht yang terlalu kuat akan mengurangi daya saing produk-produk Thailand di pasar dunia.

Jika hal ini dibiarkan terus, nilai mata uang tersebut akan amat terlalu kuat dibandingkan dengan nilai fundamentalnya.

Akibatnya, jika terjadi koreksi, koreksinya akan besar sekali dan akan menimbulkan guncangan (ketidakstabilan) yang hebat di pasar mata uang.

Bank sentral Thailand tentunya tidak menginginkan terjadinya fluktuasi mata uang baht yang terlalu liar sehingga mereka merasa perlu untuk melakukan sesuatu.

Sayangnya, kebijakan yang diambil kurang memerhatikan dampak negatif terhadap pasar modal. Akibatnya, kebijakan kapital kontrol yang diambil tidak hanya membuat baht berhenti menguat, tetapi juga membuat bursa saham di Thailand terkoreksi dengan tajam.

Untungnya, sehari setelah kebijakan itu diumumkan bank sentral Thailand segera melakukan koreksi (berupa pembatalan kapital kontrol untuk investor di pasar saham) yang dapat menenangkan kembali investor di pasar modal mereka. Bursa saham Thailand pun kembali mengalami penguatan.

Apakah kebijakan yang diterapkan oleh bank sentral Thailand gagal? Tidak sepenuhnya. Rencana awal mereka untuk mencegah penguatan baht yang berlebihan cukup berhasil.

Tidak ingin baht kuat

Baht sekarang berada pada posisi yang jauh lebih lemah dari level sebelum kebijakan kapital kontrol tersebut diberlakukan. Bank sentral Thailand sudah mengirim pesan dengan tegas ke pasar bahwa mereka tidak menginginkan Baht yang terlalu kuat.

Walaupun saat ini gejolak baht dan bursa saham Thailand sudah mereda, masih ada yang mengatakan bahwa badai belum berlalu. Bahkan, ada yang sempat mengisyaratkan bahwa ada peluang terjadinya krisis yang baru karena fundamental perekonomian Thailand yang lemah.

Kekhawatiran seperti ini dapat dipahami mengingat krisis tahun 1997 dimulai dari Thailand. Memang benar, jika keadaan Thailand sama seperti tahun 1997, ancaman terjadinya krisis lagi tidaklah kecil.

Mengingat krisis yang lalu dimulai dari sektor finansial, ada baiknya kita membandingkan keadaan sektor finansial di Thailand sebelum krisis dengan keadaan sektor tersebut pada saat ini.

Untuk melihat kondisi tekanan terhadap sektor finansial suatu negara, Danareksa Research Institute mengembangkan indikator yang disebut Banking Pressure Index (BPI).

BPI disusun dengan menggunakan indikator-indikator seperti nilai tukar efektif riil, pertumbuhan harga saham, money multiplier, pertumbuhan produk domestik bruto riil, dan suku bunga antarbank.

Interpretasi BPI cukup mudah. BPI yang berada di atas 0,5 menunjukkan sistem perbankan suatu negara dalam keadaan tertekan dan peluang terjadinya krisis perbankan yang sistemik cukup besar.

Sementara BPI di bawah 0,5 menunjukkan keadaan perbankan yang baik. Misalnya, untuk Thailand, BPI sudah berada di atas 0,5 (sektor finansial negara tersebut dalam keadaan tertekan) sejak pertengahan tahun 1996.

Kegagalan Pemerintah Thailand untuk mendeteksi dan memperbaiki keadaan sektor finansial mereka pada waktu itu membuat BPI bertahan di atas 0,5 terus-menerus.

Keadaan sektor finansial yang rentan tersebut tentunya membuat baht menjadi sasaran yang empuk bagi spekulator mata uang. Akhirnya nilai tukar baht pun runtuh seiring dengan ambruknya sektor finansial negara tersebut pada medio tahun 1997. Thailand pun mengawali krisis ekonomi di Asia.

Pada tahun 2006, keadaan sektor finansial Thailand tidaklah buruk. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan yang ada di sistem finansial Thailand tidak besar dan peluang terjadinya krisis perbankan yang sistemik cukup kecil.

Ada beberapa pelajaran yang dapat kita simpulkan dari uraian di atas. Pertama, nilai tukar yang terlalu kuat tidak selalu baik bagi perekonomian.

Kedua, sebelum melakukan suatu kebijakan, harus dipertimbangkan dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Ketiga, suatu kebijakan harus membawa pesan yang tegas. Keadaan sektor finansial di Thailand saat ini cukup baik sehingga kecil peluang terjadinya krisis finan.

Tahun 2008

BANGKOK (Bloomberg): Laju inflasi atau harga konsumen di Thailand mengalami penurunan untuk pertama kali dalam sembilan tahun pada Januari memberi ruang bagi bank sentral untuk menurunkan suku bunga bulan ini.

Kementerian Perdagangan melaporkan harga konsumen turun 0,4% dari tahun sebelumnya, setelah mengalami kenaikan 0,4% pada Desember. Kontraksi itu merupakan yang pertama sejak Oktober 1999. Estimasi median 13 ekonomi yang disurvei Bloomberg mencatat penurunan 0,3%.

"Dengan angka inflasi itu ditambah dengan angka pertumbuhan, bank sentral berupaya untuk menahan agresifitas pelonggaran kebijakan. Deflasi disebabkan oleh ambruknya harga komoditas. Meski begitu, tekanan atas harga pokok mereda," papar Prakriti Sofat, ekonom HSBC Holdings Plc, Singapura.

Dia menambahkan Bank of Thailand bakal kembali menurunkan suku bunga akibat dampak resesi global ke kawasan Asia Tenggara. Gubernur bank sentral Tarisa Watanagase menjelaskan risiko yang naik menyebabkan bank-bank komersial enggan menyalurkan pinjaman. Di sisi lain, produksi dari sektor manufaktur merosot terbesar selama Desember akibat melorotnya permintaan untuk ekspor.

Sofat menjelaskan Indonesia juga mengalami perlambatan inflasi ke posisi terendah dalam sembilan bulan. Situasi itu kemungkinan menjadi pertimbangan bank sentral untuk menurunkan suku bunga. Harga minyak mentah yang sudah turun 59% tahun lalu, memicu penurunan harga bensin. Yang pada gilirannya juga mengkontribusi rendahnya laju inflasi di negara ini.

Kementerian Keuangan pada 20 Januari menegaskan perekonomian diperkirakan menciut kuartal ini serta mengalami kontraksi 3,5% dalam tiga bulan sampai dengan 31 Desember. Pencapaian itu akan membawa negara itu dalam masa resesi untuk pertama kali sejak kontraksi GDP pada 31 Maret 1999.

Jajaran petinggi Bank of Thailand akan mengadakan pertemuan pada 25 Februari untuk menentukan suku bunga acuan. Banyak pihak memprediksikan bank sentral akan memangkasi tiga perempat persen poin menjadi 1,25%. Sebelumnya sudah dua kali pemangkasan sebesar 1,75 basis poin sejak 3 Desember.

Kementerian Perdagangan menjelaskan inflasi inti, terdiri dari makanan segar dan bahan bakar, turun 1,6% bulan lalu dari tahun sebelumnya. Ekonom mengestimasikan laju inflasi inti mencapai 1,6%. Inflasi tahun ini tidak akan melebihi 0,5%, lebih rendah dari 5,5% tahun lalu. Perkiraan itu dengan asumsi rata-rata harga minyak di Dubai bergerak antara US$50 dan US$60 per barel tahun ini, lebih rendah dari US$93,97 pada 2008.

Tahun 2009

BANGKOK. Tingkat inflasi bulanan Thailand pada bulan Agustus mengalami penurunan menjadi 6,4%. Padahal, pada Juli lalu, inflasi di Negeri Gajah ini sempat mencapai angka tertinggi dalam sepuluh tahun sebesar 9,2%. Angka tersebut juga lebih rendah dari prediksi analis yang disurvei oleh Reuters yang mematok inflasi di level 8,7%.
Para analis menilai, turunnya tingkat inflasi akan membuat Bank of Thailand (BOT) tidak akan menaikkan lagi tingkat suku bunganya. “Meski pertumbuhan ekonomi Thailand masih dibayangi dengan ketegangan politik, namun kami memprediksikan langkah selanjutnya yang akan diambil BOT adalah memangkas tingkat suku bunga untuk meningkatkan permintaan domestik. Tapi sepertinya langkah ini baru akan dilakukan pada tahun depan,” kata Usara Wilaipich, analis Standard Chartered Bank.
Turunnya tingkat inflasi ini disebabkan semakin menjinaknya harga minyak dunia. Selain itu, penyebab lainnya yakni adanya pemberian subsidi BBM dari pemerintah dan pengurangan ongkos transportasi.
Hari ini, Menteri Perdagangan juga mengatakan tingkat inflasi inti (core) pada Agustus hanya mencapai 2,7%. Angka tersebut turun tajam dari 3,7% pada Juli dan berada di bawah prediksi para analis yang mematok 3,8%.
Memang, pemerintah Perdana Menteri Samak Sundaravej melakukan beberapa kebijakan untuk mengerem laju inflasi yang bertujuan meningkatkan kepopulerannya. Langkah tersebut antara lain memangkas pajak konsumsi atas BBM pada akhir Juli lalu.
“Langkah tersebut memang sangat berpengaruh besar dan sepertinya kebijakan ini mampu menekan tingkat inflasi domestik secara drastis. Sekarang, yang perlu diperhatikan adalah apakah inflasi benar-benar sudah menjinak,” kata ekonom Forecast Pte Vishnu Varathan.
Inflasi tahun ini memang meningkat tajam dibanding tahun lalu karena kenaikan harga minyak dan pangan. Meski demikian, adanya penurunan inflasi pada Agustus sedikit menjadi obat segar bagi para pelaku pasar modal Thailand yang saat ini merasa depresi karena adanya ketegangan politik di negara itu. Sekadar informasi, kondisi politik Thailand memang sedang memanas karena adanya upaya menggulingkan kedudukan PM Samak oleh kelompok oposisi.
Catatan saja, minggu lalu, BOT menaikkan kebijakan suku bunganya sebesar 25 poin menjadi 3,75%. Kenaikan tersebut merupakan yang kedua kalinya dalam enam minggu. Bank sentral juga meningkatkan ramalan inflasi 2008 pada Juli menjadi 7,5-8,8% dari 4,0-5,0% pada April lalu.
Sementara itu, salah seorang pejabat senior Kementrian Perdagangan memprediksi tingkat inflasi tahun ini akan berada pada kisaran 6,5% hingga 6,9%.
Bank sentral juga memprediksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa menyamai tahun lalu yang mencapai pertumbuhan sebesar 4,8%. Berdasarkan ramalan terakhir, pertumbuhan ekonomi 2008 diperkirakan akan berada pada angka 4,8-5,8%.

Kesimpulan
Thailand dikenal sebagai negara tujuan investasi yang menarik dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun pandangan kestabilan politik di Thailand yang mendukung masuknya modal asing telah memudar menyusul terjadinya gejolak politik pada tahun 2006. Reputasinya sebagai negara tujuan investasi mengalami kemunduran. Thailand saat ini membutuhkan langkah yang tepat untuk memulihkan iklim investasinya yang memburuk. Membangkitkan kepercayaan investor agar kembali menanamkan modalnya diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Pemerintah Thailand menawarkan berbagai insentif kepada perusahaan domestik dan asing yang berniat menambah modal.
Thailand mengandalkan ekspor komponen elektronik/komputer/mobil dan produk-produk pertanian lainnya, di samping pariwisata, untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Utang pemerintah dijaga tidak melebihi 50% PDB dan pembayaran utang dipertahankan rendah agar ada ruang untuk membiayai pembangunan.
Kebijakan dan program pembangunan prasarana, sektor pertanian, peningkatan ekspor, upaya mendorong UKM dan dukungan pada ritel lokal patut mendapat perhatian bagi pembuat kebijakan ekonomi Indonesia dalam rangka membangkitkan sektor riil yang saat ini stagnan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar